Oleh:
Arifin Saleh Siregar
(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
POROSRIAU.COM - Kita belum boleh bersenang. Meski jumlah pasien Covid-19 yang sembuh dari hari ke hari makin bertambah, tapi korban-korbannya justru masih terus berjatuhan. Koban meninggal masih ada. Korban terpapar juga bertambah. Malah, korban lainnya adalah jutaan orang kehilangan pekerjaan.
Di saat semua orang harus waspada agar tidak terpapar dan terkapar virus asal Wuhan, China itu, di situ pula banyak orang yang terancam kelangsungan hidupnya, gara-gara kehilangan pekerjaan. Wabah covid memang membuat banyak pekerja yang dirumahkan. Tak sedikit yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ada juga yang justru merugi meski masih bekerja setiap hari.
Angka yang kehilangan pekerjaan ini luar biasa. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang dirilis 11 April 2020, jumlah pekerja/buruh/tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan karena imbas pandemi covid sebanyak 1.506.713 orang. Rinciannya, pekerja formal yang dirumahkan 1.080.765 orang, dari 27.340 perusahaan. Pekerja yang di-PHK 160.067 orang, dari 24.225 perusahaan. Jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal 30.466 perusahaan dan jumlah pekerjanya sebanyak 265.881 orang.
Jumlah yang sangat besar. Kita pantas prihatin. Apalagi jika mengingat berapa orang yang harus makan sehari-hari dan dihidupi dari pendapatan para pekerja tersebut. Berapa anak sekolah yang menyusul terdampak dan berapa anggota keluarga lainnya yang akan ikut merasakan kepedihan karena orang tua atau orang-orang yang diandalkannya kehilangan mata pencaharian.
Tak pelak, beban pemerintah akan bertambah. Di saat pemerintah harus fokus dan all out menyembuhkan pasien dan mengatasi penyebaran wabah corona, di situ pula muncul masalah baru, yakni jutaan warga jadi pengangguran, kehilangan pekerjaan. Pengangguran bisa menyebabkan kelaparan dan kematian. Pengangguran menganggu esksistensi negara. Pengangguran salah satu momok menakutkan bagi pemerintah.
Masyarakat harus terselamatkan. Negara harus dibantu. Pemerintah tak boleh dibiarkan. Saat inilah harus muncul individu-individu atau kelompok-kelompok yang berlebih secara ekonomi dan yang mau berbagi membantu beban pemerintah.
Caranya? Turun tangan, ikut serta mengatasi persoalan demi persoalan.
Individu atau kelompok yang dimaksud adalah masyarakat yang tergolong kelas atas (upper class). Partisipasi masyarakat kelas atas yang ada di Indonesia sangat dibutuhkan dalam memutus penyebaran covid, sekaligus membantu kehidupan warga yang terpapar dan sudah “terkapar” karena sulitnya ekonomi.
Kelas atas juga bisa diharapkan membuka lapangan pekerjaan. Bukan menutup, apalagi memutus. Menyerap kembali yang di-PHK. Mengajak balik yang dirumahkan. Memberdayakan yang ada di sekitar. Kelas atas punya daya, kekuatan, dan modal yang berlebih untuk itu.
Kelas atas adalah golongan elit yang duduk di hirarki teratas kelas sosial masyarakat. Kelas atas dalam masyarakat modern adalah kelas sosial yang terdiri dari orang-orang dengan status sosial tertinggi.
Kelas atas memiliki pengaruh dan dominasi terbesar dalam masyarakat. Pendapatan masyarakat kelas atas jauh, malah sangat jauh di atas rata-rata. Kelas atas adalah anggota masyarakat terkaya dan memiliki kekuatan politik yang besar.
Aristoteles menyebutnya golongan masyarakat yang sangat kaya. Kaya Raya. Pengusaha, tuan tanah, dan bangsawan. Karl Marx memberi istilah kelas atas sebagai golongan kapitalis, borjuis. atau pemilik modal. Masyarakat umum sering menyebut dengan konglomerat, miliader, kelompok jetset, atau pengusaha papan atas.
Jumlah kelas atas di setiap negara, termasuk di Indonesia tidak banyak. Biasanya persentasenya tidak lebih dari 15 persen dari jumlah penduduk. Tapi, kekayaan, aset, dan modal yang mereka miliki hampir seimbang dengan 85 persen kelompok penduduk lainnya.
Ada semacam kegetiran perbandingan atau kalimat satir tentang ini. Sebanyak 15 persen warga yang tergolong kelas atas menguasai 85 persen kekayaan alam yang ada. Sebaliknya, 85 persen warga yang tergolong menengah ke bawah harus berbagi 15 persen kekayaan alam yang tersisa. Tragis. Tapi sulit dibantah.
Awal bulan lalu, Majalah Forbes merilis daftar orang terkaya di dunia versi tahun 2020. Ada 2.095 miliarder. Dari jumlah itu, beberapa nama pengusaha asal Indonesia ikut serta tercatat. Bahkan, empat di antaranya masuk 500 besar terkaya di dunia.
Tak gampang bisa masuk daftar orang terkaya di dunia. Forbes memberikan kriteria bahwa para pengusaha harus memiliki harta atau kekayaan lebih dari USD 1 miliar atau atau Rp16,41 triliun (estimasi kurs 16.‬410 per USD). Harta ini berupa aset termasuk perusahaan yang dimiliki, gedung dan bangunan, karya seni dan lainnya.
Jangan bayangkan berapa banyak uangnya. Berapa banyak assetnya. Berapa banyak modalnya. Berapa banyak harta kekayannya yang lain.
Sebagai perbandingan, misalnya, dari data yang dikeluarkan Forbes, jika total kekayaan 15 orang terkaya saja yang ada di Indonesia dikumpulkan, angkanya mencapai Rp.878 Triliun lebih. Segitulah. Jangan bayangkan lagi sebanyak apa itu.
Jika semua kelas atas mau, apa pun akan lebih gampang. Jika semua kelas atas turun tangan, lebih peduli dan lebih total ikut serta, pemerintah sudah tentu terbantu. Jika semua kelas atas lebih sadar dengan kelas yang dimilikinya, bisa dipastikan para pekerja, buruh, dan warga yang terpapar covid tidak akan terjepit.
Kelas atas sebenarnya bisa datang dengan uangnya. Bisa muncul dengan asetnya. Bisa dengan bantuan modalnya. Bisa dengan sembako yang rutin dan tepat sasaran. Bisa dengan dana atau kegiatan CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaannya. Bisa dengan segala daya dan fasilitas yang dimilikinya.
Dan itu tidak akan mengurangi uangnya. Tidak menggerus asetnya. Tidak menipiskan modalnya. Tidak mengecilkan dayanya. Tidak mengganggu fasilitasnya. Tidak merusak wibawa dan eksistensinya. Malah, akan sebaliknya.
Masalahnya sekarang adalah; di mana kelas atas kita itu?***