JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) selama April 2019 mengidentifikasi 486 hoaks atau berita bohong. Dari jumlah tersebut terdapat 209 hoaks kategori politik, antara lain berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
“Total hoaks yang ditemukan sejak Agustus 2018 hingga April 2019 sebanyak 1.731 item. Untuk hoaks politik yang diidentifikasi, diverifikasi, dan divalidasi sebanyak 620 item,” ujar Plt Kepala Biro Humas Kemkominfo Ferdinandus Setu dalam keterangannya kemarin. Berdasarkan penelusuran Mesin AIS Kemkominfo, jumlah hoaks, kabar bohong, berita palsu, dan ujaran kebencian terus meningkat menjelang hari pencoblosan 17 April 2019.
Tidak berhenti pada tanggal pencoblosan, jumlah hoaks terus bertambah setelah 17 April 2019. Peningkatan signifikan terjadi pada Januari dan Februari 2019. Sebanyak 175 konten hoaks berhasil diverifikasi. Angka ini naik dua kali lipat di Februari 2019 menjadi 353 konten hoaks. Angka tersebut terus menanjak menjadi 453 hoaks selama Maret 2019.
“Dari 453 hoaks yang diidentifikasi selama Maret 2019, selain terkait isu politik, juga menyasar isu kesehatan, pemerintahan, fitnah terhadap individu tertentu, terkait kejahatan, isu agama, internasional, mengarah ke penipuan dan perdagangan serta isu pendidikan,” terang Ferdinandus.
Kementerian Kominfo mengimbau warganet yang menerima informasi elektronik yang patut diduga diragukan kebenarannya dapat menyampaikan kepada kanal pengaduan konten melalui email: aduankonten@kominfo.go.id atau akun Twitter @aduankonten atau melalui pesan singkat WhatsApp di nomor 081-1922-4545.
“Penyebaran hoaks juga masif melalui media sosial tapi juga sejumlah grup percakapan, di antaranya seperti WhatsApp,” tandasnya. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyebutkan hoaks yang terakhir beredar adalah terkait hasil perhitungan suara Pilpres 2019 pada tempat pemungutan suara (TPS) di luar negeri.
Kepolisian, kata Dedi, memperkirakan berita-berita yang membuat masyarakat resah akan terus bermunculan. "Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan ada metode penyebaran berita bohong lainnya seperti melalui SMS dan peralatan broadcast lainnya," tuturnya. Ke depan, Dedi mengimbau agar masyarakat tidak turut serta menyebarkan informasi tanpa ada klarifikasi dan verifikasi.
Jika berita yang disebarkan itu hoaks, masyarakat bisa dikenakan pidana penjara maksimal selama 10 tahun. Namun jika masyarakat menyebarkan hoaks, ditambah dengan narasi yang mengandung ujaran kebencian, akan ditambah enam tahun penjara.
"Polri mengingatkan masyarakat agar tidak ikut menyebarkan berita bohong karena bisa diancam kurungan penjara," katanya.
Polri mengimbau para pegiat media sosial untuk melakukan literasi digital kepada masyarakat agar tak mudah terpengaruh hoaks. “Kami mengajak YouTuber, selebgram, dan pegiat media sosial bersama Polri melakukan literasi digital yang positif. Jangan biarkan masyarakat teredukasi informasi yang tidak benar akibat konten negatif dan hoaks,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Muhammad Iqbal.
Berdasarkan data kepolisian, Iqbal mengatakan penyebaran hoaks di media sosial meningkat menjelang hari pencoblosan Pemilu 2019. Data ini selaras dengan temuan Kementerian Kominfo.
"Temuan kami justru lebih banyak soal hoaks, karena kami melihat ada konten-konten yang negatif dan hoaks. Karena Kominfo hanya memverifikasi mana yang sengaja dan terbukti berita bohong,” ungkap jenderal bintang dua ini.
Menurut dia, Polri tidak hanya menerima laporan mengenai penyebaran hoaks, tapi juga proaktif untuk menemukan dengan menindaklanjutinya. Untuk mencegah penyebaran hoaks, kata Iqbal, kepolisian mendayagunakan Bayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) untuk mengedukasi masyarakat. ***